Senin, 17 Agustus 2015

Aku Memaafkan bukan berarti aku melupakan, namun aku ingin menyembuhkan luka ini




Maha Suci Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Masa kecil merupakan masa yang paling indah, tanpa beban, dan penuh harapan. Namun bagaimana jika anak kelas 4 SD harus menanggung beban mental yang begitu berat. Aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana, setelah bapak bercerai dari istri pertamanya karena belun juga dikaruniai momongan, bapak menikah dengan ibuku. Tak lama, seorang bayi perempuan lahir dan mewarnai hari-hari bapak. kemanapun bapak pergi, aku nisa kecil selalu dibawa. Bapak selalu memamerkanku pada teman-temannya, membanggakaku pada mereka. Masih kuingat, bapak selalu mengendongku kemanapun saat jalan-jalan sore disekitar rumah, nongkrong dengan tetangga lain dan aku selalu dipangkuannya. hingga usia 8tahun aku selalu dimanja oleh ibu dan bapak. Hingga kelahiran bayi kedua ibu, yaitu adekku seorang bayi laki-laki. Sempurna sudah rumah tangga bapak dan ibu. Hingga suatu ketika, usaha bapak bangkrut dan banyak hutang kesana sisi, bapak jatuh sakit. Jangankan untuk bayar utang, untuk hidup sehari-haripun kami kesusahan. Akhirnya ibu berusaha membantu bapak sebisanya. Ibu dilahirkan dari keluarga guru, sewaktu kecil ibu tinggal dengan om nya di Jakarta, sering diajak jalan-jalan dan disekolahkan pula. Namun saat kakek meninggal, ibu kembali diambil oleh nenek. dari usia remaja dan menikah dengan bapak, ibu tak bisa kerja diladang, ibu hanya bisa menjahit, namun kesulitan ekonomi saat itu, terpaksa membuat ibu turun keladang milik tetangga menjadi buruh harian demi membantu bapak yang sudah bangkrut. Ibu tampak kelelahan mengurusi kami dengan beban hidup yang makin meningkat. Sementara bapak, tak banyak yang bisa dilakukan. Dari dulu terbiasa berbisnis, membuat dia tak punya keahlian lain. Namun kali ini, jangankan untuk modal buka usaha, untuk makanpun susah. Hampir tiap hari rumah kami didatangi penagih hutang. Muka kami sudah sangat malu. Pernah satu kali kami ngumpet dikamar, karena ada yang nagih hutang, sadangkan kami tak punya uang. Saat aku kelas 5SD aku harus sudah mandiri, pulang sekolah aku harus menanak nasi sendiri, sekalian menyiapkan nasi untuk ibu pulang dari ladang orang. Oh ya, bapak jadi kuli juga waktu itu, kuli mengangkut gabah yang dihargai 150 rupiah per Kg. Bayaran bapak tergantung dari banyaknya dia mengangkut gabah-bagah itu. Pulang sekolah aku harus menyiapkan makan siang yang alakadarnya, lauknya tak pernah jauh dari ikan asin dan sambal. Namun tetap kami syukuri. Tak ada televisi dirumah kami, padahal sebelumnya saat pertama kali ada televisi, rumah kami yang selalu didatangi para tetangga untuk nonton tivi, tapi semua telah berubah. Hari libur aku harus mencuci baju seragam sendiri dan menjadi pengasuh adik laki-lakiku. Hingga kelas 6SD dan hampir lulus, aku masih bingung apakah aku boleh sekolah ke SLTP atau tidak, ibu tak pernah menjawab pertanyaanku setiap aku bertanya "bu, sekolahnya dilanjut atau tidak?" ibu hanya diam, namun prestasi disekolahku yang selalu menduduki peringkat 3 besar, membuat guru-guruku menyemangatiku dan ibu. Aku masih ingat, saat awal masuk MTs (setinggak SLTP) aku menggunakan seragam lungsuran dari tetangga yang sudah tak terpakai, namun saat itu, aku merasa senang sekali, kufikir ini baju 'Baru' ku. Dan hampir setiap kali kenaikan kelas, dari kelas 4SD ibu selalu mencuci ulang semua baju putih lungsuranku dengan 'Pemutih' agar tampak seperti baru. Setiap hari kenaikan kelas dan aku dapat juara bapak selalu memelukku, dia selalu bilang "hilang semua lelah bapak mencari uang untuk biaya sekolah kamu nak. bapak bangga". itu yang selalu bapak ucapkan padaku saat melihat nilai rapor ku yang bagus. Ada rasa senang disitu. namun kembali lagi aku harus berjuang extra untuk bisa sekolah. jarak rumah dan sekolah MTs ku yang lumayan jauh kira-kira 7KM aku tempuh setiap hari dengan jalan kaki. Hingga sepatuku cepat sekali rusak, sedangkan bapak dan ibu tak bisa sering-sering membelikanku sepatu baru, kalaupun membelikan sepatu baru, itu dengan ukuran 2nomor diatas ukuran kaki ku, alesannya sederhana "biar kepake lama". terdengar lucu, namun sangan memilukan. pernah suatu ketika, sepatuku sudah bolong dengan diameter 5cm, dan telapak kaki ku langsung menyentuh tanah. Namun aku tak ingin membebani ibu, saat itu kufikir atasnya masih bagus kok, kan bawah sepatu gak ada yang tau, itu berlangsung cukup lama, sebelum akhirnya tetanggaku memberikan lungsuran sepatu (begitu memprihatinkan bukan). Saat usia menginjak remaja, gengsiku sedang tinggi-tingginya. Suatu malam, sepulang dari surau setelah mengaji bersama teman yg lain. Namanya anak seusia itu, selalu saling mengolok-olok. Salah seorang anak yang usianya jauh dibawah aku mengolok-olok aku dengan sebutan "dasar anak pemulung" seketika itu pula aku marah, pulang dengan terisak-isak. aku ngadu sama ibu, aku marah kenapa bapak jadi pemulung plastik dan berang bekas? saat itu aku malu, dengan terisak ibu membelai rambutku. "Nak, bapak memang pemulung, karena itu yang bapak bisa kerjakan". Saat itu aku terluka oleh cemoohan anak ingusan, luka yang tak akan sembuh. Waktu terus berjalan, akhirnya bapak membuka warung didepan rumah, menjualan gorengan dan jajanan, namun sayangnya adekku yang sudah masuk sekolah dasar bisa diperdaya oleh kaka kelasnya, dia menyuruh adekku untuk mengambil dagangan ibu, ibu yang tak tau apa-apa hanya membiarkan adekku mengambil dagangan ibu berkali-kali. Aku yang sudah punya fikiran, merasa ada yang aneh dengan adek, saat aku pergoki ternyata dagangan ibu yang diambil adek ku dimakan oleh kakak kelasnya yang juga anak dr tetanggaku. Aku marah, dan memaki anak itu, dia hanya ketakutan dan berlari pulang dengana menangis. Aku merasa puas, karena menurutku aku sudah benar, memarahi anak itu yg mencuri dagangan ibuku secara tidak langsung. Aku bilang semua kejadian itu sama ibu. Ibu hanya bilang, "gak apa-apa itu gak seberapa kok" tapi dalam fikiranku, kalau terus dibiarkan ibu bisa rugi.
Hingga akhirnya sore hari aku dimarahi ibu anak itu, dengan sombong dia bialang "berapa jajanan yang anaknya makan, akan dia bayar. meski adekku yang makan dan anaknya minta, akan dia bayar". dengan congkak wanita tua itu berkata. Aku yang tau bagaimana bapak dan ibu susahnya mencari uang hanya geram dengan tingkahnya. Aku terluka untuk kedua kalinya. merasa terhina dengan kekurangan harta saat itu. diolok dan dihina, diperlakukan semaunya mereka. Aku menyimpan dendam, olok-olok dan perkataan wanita itu menorehkan luka. Hingga kini aku sudah selesai kuliah, mendapat penghasilan sendiri dan bisa memberi ibu sedikit uang dari gajiku, aku masih menyimpan demdam pada mereka.

Salahkah aku Tuhan, yang membenci mereka?. Namun kini aku ingin memulihkan luka itu. Meski berbekas, aku ingin luka itu mengering.
Aku memaafkan bukan berarti aku melupakan, tapi aku ingin menyembuhkan luka ini.

Semoga Allah melembutkan hatiku dan menyembuhkan luka ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar