Sore hari yang mendung, mereka banyak yang bergegas terburu-buru untuk sampai ketempat yang dituju, menghindari kalau-kalau butiran air turun. Aku berjalan santai menuju pojok taman, membawa secangkir coklat hangat. Duduk santai di bangku yang biasa kududuki, menatap lereng bukit. Memang sedikit berbeda tempat duduk ini, jika biasanya tempat duduk menghadap kedalam taman, menyuguhkan pemandaman taman yang penug dengan bunga-bunga, namun satu bangku ini justru sebaliknya, berada didalam taman, namun menghadap keluar. ke sebalah selatan, tempat dimana bukit-bukit bisa dilihat dengan jelas. Mungkin tukangnya salah memasang posisi bangku ini atau bagaimana, sehingga jarang sekali ada yang mau duduk ditempat ini. Dan bagi ku ini suatu kebetulan yang asik, berada ditengah taman, namun menikmati pemandangan yang lain. menatap bukit-bukit hijau dengan jalan-jalan yang berkelok, tak jarang banyak kendaraan yang melintas diantaranya. Dan sore ini aku kembali menikmati pemandangan ini, menatik nafas panjan, lalu menghembuskannya pelan, membuang semua penat. Meneguk secangkir coklat hangat. Rasa dan aroma yang begitu cantik.
"hai, kamu disini. Dan penyakitmu kambuh lagi bukan? kenapa kamu hanya diam hah?" suara yang tidak asing ditelingaku dengan pertanyaan bertubi-tubi. aku melirik kesamping kanan. Tepat, dia sedang memandangiku dengan aneh. "hmmmm,,, kamu lagi, seberapa jauh kamu tau tentang ku adi?" aku berkata ketus, entah mahluk jenis apa dia, 5 tahun yang lalu memperkenalkan dirinya sebagai "Adi mangku negara" (nama yang terlalu berat menurutku). Tepat dua kali dia menemuiku, kini dia muncul ke 3 kalinya didepanku saat aku punya masalah seperti waktu itu. Saat itu dia berkata memberi petuah dan aku hanya diam tergugu, lalu dia pergi tanpa aku tau dari mana sebenarnya dia berasal. Dan kali ini, aku tak akan diam seperti 2 kejadian itu Adi mangku negara. Masih dengan kebiasaan yang sama, dia memutar-mutar benda dalam genggamannya, sesekali keningnya berkerut lalu kemudian tersenyum simpul. "jika kamu masih belum lulus dlm ujian seperti ini, maka boleh jadi esok lusa Allah akan kasih kamu ujian yang sama,hanya saja dengan orang yang berbeda. Aku bisa membaca kebencian dari sorot matamu Annisa, kamu tak bisa menyembunyikan secuilpun dari perasaanmu. aku, Adi mangku negara bisa tahu saat kamu malu, marah, sedih, senang, karena semua gestur tubuhmu tak bisa berbohong, kamu orang yang tak bisa berbohong Annisa." Orang itu terus saja berceloteh dengan menyebut-nyebut namaku. Entah tahu darimana dia dengan namaku, pun tentang aku yang tak pernah bisa menyembunyikan perasaan. Mungkin dia punya semacam peropong bintang, yang mengawasi dari jarak ratusan KM. Entahlah, yang jelas aku hanya baru 3 kali bertemu dengannya, ah bukankah aku sudah membicarakannya diparagraf atas. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, seperti sebuah kelereng, lalu melemparkannya dengan sekuat tenaga "buang semua kebencian itu Annisa, mereka sudah jelas-jelas kalah. Kamu hanya menuruti ke-egiosanmu". Aku menatap kosong pada bukit-bukit yang bembisu, berat rasanya untuk menjawab semua celotehannya. Hingga akhirnya aku bersuara "aku tidak pernah mengusik kehidupan siapapun, tapi jika ada yang mengusik kehidupanku, maka dia akan menerima kebencian ini".
Adi : "kebencian karena keegoisan yang kamu ciptakan sendiri Annisa".
Annisa : "Setiap orang punya prinsip, setiap orang punya batasan, dan setiap orang punya batas toleransi. Siapapun yang mengusik prinsipku, melanggar batasan dan toleransi yang kubuat, maka kupastikan orang itu akan menerima kebencianku"
Adi : "siapa yang akan tahu prinsipmu Annisa, siapa yang tahu batasan toleransimu Annisa? kau fikir orang-orang sekelilingmu itu bisa membaca fikiranmu?"
Annisa : "maka dari itu kita diajarkan etika, Ari mangku negara"
Adi : "namun lagi-lagi dalam masalah yang serupa ini, kamu jadi seperti tak ber-etika, membenci tanpa orang yang kamu benci tahu alasannya, mendiamkan hingga banyak fikiran liar yang menduga. Bicaralah, atau kamu buang semua kebencian itu Annisa"
Jleb, pernyataan yang membuatku tersadar, jika Adi sepertinya bukan seperti otang kebanyakan.
Annisa : "Tak ada sesuatu yang terjadi tanpa adanya alasan, bukankah kamu tahu Adi, jika aku adalah pengingat yang baik. aku masih mengingat Mia, orang yg pernah menolongku satu kali, hingga aku berfikir keras bagaimana harus membalas kebaikannya Adi? Karena bagiku kecil bantuannya tapi sangat aku butuhkan saat itu. Aku adalah orang yang ketika orang lain berbuat baik padaku maka aku harus membalasnya pula dengan kebaikkan yang lebih. Dan ak akan terus mengingatnya hingga aku bisa membalasnya" Menarik nafas perlahan, kuteguk coklat hangat yang sudah mulai dingin ini. "Aku pengingat yang baik Adi, pun ketika pria itu berkata bahwa mulutku pedas, aku memikikannya dan terus kuingat, hingga ketika aku akan berbicara, aku harus berfikir 10 kali intuk memastikan apakah kata/kalimat ini keluar dari lisanku, adakah orang yg terluka."
Adi :"lalu.."
Annisa : "Lalu, daripada sibuk menunjuk dan menyalahkan orang lain. Lebih baik lihat kedalam diri, tanya kedasar hati. Adakah diwaktu dulu kita menyakiti hati orang lain?. Hingga kini harus menerima kebencian dariku"
Adi : "Annisa..."
Annisa : "Dan jika-pun itu terjadi padaku, ada seseorang yang membenciku setengah mati. Tentu aq akan mengoreksi kedasar hati. Dan menganggap mungkin "neraka bocor". Mungkin secuil aib kita Allah perlihatkan pada manusia, toh jika dosa2ku berbau atau semua manusia mengetahuinya, belum tentu ada satu orang-pun yang mau berteman dengan ku"
Hening,,, hanya desiran angin yang terdengar, awan mendung yang seolah akan menumpahkan butira air-pun bergeser, tak lagi disini.. mentari sore malu-malu muncul kembali tersingkab awan. aku berdiri, bersiap-siap untuk pergi, berjalan dan berhenti tepat didepannya.
Annisa : "Dan jika kau bertanya kenapa aku hanya diam?. maka jawabannya: aku tahu kelemahanku adi, aku tahu kata2ku sering terlalu tajam ditelinga orang, apalagi dengan kebencian ini, bukan tidak mungkin kata yang aku keluarkan adalah belati bagi siapapun yg mendengarnya, termasik dia. Aku diam untuk mencegah belati itu tak melukai siapapun. Meski ternyata diamku membuat orang terluka. Namun ini adalah batas yang bisa aku lakukan, semampu-ku".
Aku berlajan meninggalkannya sendiri, terpaku dengan wajah tanpa ekspresi. entah apa yang difikirkannya. Yang jelas dia tak bergeming dari tempat itu, hingga aku menoleh untuk terkhir kalinya dia masih duduk dibangku itu.